Ustadz Abdul Somad: Corong Umat,
Pandai Memikat, dan Dicintai Rakyat
Oleh Hanif Kristianto
(Analis Politik dan Media)
Ustadz
Abdul Somad (UAS) menjadi salah satu anak bangsa yang dicintai umat. Latar
belakang dari Nahdhatul Ulama dan bermadzhab Syafii. Keilmuannya tidak
diragukan lagi, dari Al-Azhar Syarif dan Darul Hadits (Maroko – red). Asalnya
dari Melayu Sumatera, namun dicintai umat seluruh Indonesia. Fenomena baru.
Kalaulah ada yang mengaitkan UAS sebagai corong Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),
radikal, penyebar kebencian, dan anti NKRI, sungguh itu pernyataan sumir.
Manusia memang pandai mengaitkan dan berasumsi, tapi lupa melihat fakta dan
jati dirinya.
Kecintaan
umat pada UAS bukan karena fisik tubuhnya dan asal organisasinya. Umat kini
mulai sadar bahwa kecintaan pada seseorang haruslah dilandasi pada aspek ruhiah
dan standar hukum Islam. UAS dicinta sebab keilmuannya dan mampu berdiri di
atas semua jamaah dan organisasi. Keberadaanya ditunggu di tengah kondisi
ta’ashub sebagian orang yang fanatik hanya kepada kelompok dan ustadznya.
Meski
demikian, yang namanya manusia tak pernah sepi dari para pembenci dan perusuh.
Sunatullah dalam suatu kebaikan, banyak musuh Islam yang tak menginginkan.
Fenomena ini bukan barang baru, bahkan sudah ada semenjak dahulu. Tatkala
dakwah kembali kepada Islam dan tauhid diserukan, semenjak detik itu halang
rintang sudah terbentang.
UAS
memanglah corong umat. Gayanya pandai memikat. Dia dai sejuta umat di jagat
maya dan nyata. Tak mengherankan, UAS dinominasikan menjadi cawapres koalisi
umat. Apa daya, UAS memilih menjadi suluh dalam kegelapan. Kefahamnnya terhadap
belantika politik dan kefaqihan dalam fiqh siyasah tampak nyata. Sikap
penolakannya memang mengecewakan umat, tapi UAS tahu bahwa politik demokrasi
seperti rimba yang dihuni binatang buas sebagai predatornya. Politik kenegaraan
Indonesia dipenuhi pemburu kuasa. Halal dan haram tidak jadi standarnya. Main
sikut dan sok jago lagaknya sikap penguasa.
Mengambil
sikap dari UAS sebagai cendekiawan dan ulama, maka rakyat Indonesia yang
mayoritas umat Islam, dan ulama yang menjadi corong umat harus menentukan
sikap.
Pertama, umat Islam
kini harus memiliki kesadaran politik sejati. Kesadaran yang dibangun
berdasarkan mengikuti setiap fakta dan manuver politik penguasa. Jangan sampai,
rakyat, umat, dan ulama menjadi santapan empuk di setiap kebijakan yang
menyakitkan. Pemahaman politik akan menggejala jika semua paham mana musuh dan
mana lawan. Jangan sesama umat Islam berpecah-belah dan saling bermusuhan.
Sikap adu domba harus dihindarkan. Sebab, kemunduran umat Islam ketika tidak
lagi berpegang teguh pada tali agama Allah.
Kedua, ulama harus
waspada. Perlakuan demokrasi terhadap ulama sering mengabaikan petuahnya. Ulama
hanya dijadikan pengeruk ‘suara tuhan’, setelah itu ditinggalkan dan dihinakan.
Ulama harus memahami bawah Islam memiliki keagungan politik yang berlandas pada
quran dan sunnah. Politik yang dibalut dengan sikap ri’ayah, mengurusi urusan
umat dengan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Ulama harus kembali
membuka fiqh siyasah. Setiap kebijakan yang merugikan, harus diluruskan lantang
tanpa basa-basi dan mengharap imbalan dari kekuasaan. Fiqh siyasah haruslah
berbasis keumatan untuk mewujudkan Islam rahmat bagi seluruh alam.
Ketiga, menjadi ulama
yang dicinta. Umat kini bisa memilih ulama yang dicinta karena sikap
rabbaninya. Pun bisa tak suka pada ulama yang menghamba pada kepentingan
kekuasaan dan sikap tak membela kepentingan Islam. Kecintaan umat pada ulama
memang tak bisa dibeli. Kecintaan itu muncul dari hati yang terdalam dan
pemikiran yang berkesesuaian dengan akal. Pada masa akhir zaman yang penuh
fitnah, umat harus tahu mana ulama yang khos (kharismatik) dan mana ulama cash
(berbayar tunai).
Oleh
karena itu, UAS bersama ulama khos lainnya, kini benar menjadi tumpuan umat.
Umat Islam di Indonesia, kini benar-benar rindu pada kondisi Indonesia yang
ramah. Bukan Indonesia marah yang mudah mengkriminalisasi ajaran Islam dan
ulamanya. Umat pun menanti seruan ulama dalam penentuan tahun politik 2019.
Harapannya umat akan mampu menuntut perubahan, yang tidak sekadar ganti baju
dan orang. Lebih dari itu, mengganti sistem yang saat ini bobrok, menuju pada
cahaya Islam. Medan juang kini menanti. Pucuk dicinta, UAS dan ulama’ lainnya
tiba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar