K.H. Ali Yafie tumbuh dalam keluarga ulama dan satu-satunya Rais 'Aam NU dari luar Jawa. Berani meminta Soeharto turun takhta di depan muka.
Penulis: Hamzah Sahal
(pengurus Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) PBNU dan Direktur Alif.ID.)
Tujuh bulan sebelum ia merayakan ulang tahunnya itu, pada Januari 2020, Ali Yafie menjalani perawatan di rumah sakit untuk kesekian kalinya karena usia tua dan berbagai penyakit. Di ruangan yang sama, hanya dipisahkan oleh selembar gorden, Aisyah Umar, istrinya, dirawat juga. Alih-alih menunjukkan wajah sedih atau mengeluh, Ali Yafie justru tampak segar dan berusaha berbagi senyum kepada para penjenguknya.
Saat saya, Hilmy Muhammad (cucu K.H. Ali Maksum), serta Nurhasanah (istri Hilmy) menjenguknya, kami mendapati Ali Yafie, dengan setengah berbaring di ranjang, sedang membaca sebuah kitab yang cukup tebal. Saya berkata dalam hati, “Setua itu masih membaca dengan tekun. Ini orang luar biasa.”
Setelah beberapa pekan dirawat, Ali Yafie kembali pulih. Saat di rumah, sejumlah tokoh menjenguknya. Di antaranya K.H. Mustofa Bisri beserta keluarga hingga Shinta Nuriyah, istri mendiang Gus Dur. Sementara itu istri Ali Yafie mengembuskan napas terakhir pada Jumat, 24 Juni 2020 di usia 88 tahun. Pasangan Ali Yafie dan Aisyah dianugerahi empat putra (Helmi Ali, Saifuddin Ali, Azmi Ali, dan Badrudtamam Ali), lima cucu, dan empat cicit.
Bagi saya, paling tidak ada tiga hal yang menonjol dalam sosok Ali Yafie. Pertama, ia dilahirkan di tahun istimewa karena pada tahun itu pula Nahdlatul Ulama didirikan. Ali Yafie dilahirkan di Donggala, Sulawesi Tengah pada 1 September 1926 atau 23 Safar 1345. Pada bulan ketika Ali Yafie dilahirkan itu, muktamar NU pertama diselenggarakan. Di tahun ini pula, lahir seseorang yang kelak menjadi Rais 'Aam NU yang saat meninggal kedudukannya digantikan Ali Yafie, yaitu K.H. Achmad Shiddiq (1926-1991).
Bagi orang NU, tahun 1926 memang tahun istimewa. Karel A. Steenbrink, indonesianis senior asal Belanda, mencatat bahwa saat Ali Yafie dilahirkan banyak terjadi peristiwa penting di Hindia Belanda. Dari gempa bumi di Padang Panjang hingga pemberontakan haji-haji komunis di Banten.
Kedua, yang tidak bisa dilupakan dari Ali Yafie adalah pengunduran dirinya sebagai Pejabat Sementara Rais 'Am PBNU pada Musyawarah Nasional di Bandar Lampung, 21 Januari 1992. Peristiwa ini jadi legendaris karena pengunduran diri dari posisi paling puncak adalah tindakan langka di NU. Mundurnya Ali Yafie juga makin dikenang karena berkaitan langsung dengan Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU.
Apa yang menyebabkan Ali Yafie memilih mundur?
Semua bermula ketika Ghafar Rachman, saat itu Sekjen PBNU, menerima bantuan dari Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB). Bantuan senilai Rp 50 juta itu diberikan kepada sebuah madrasah kecil milik Kiai Junaidi di Tuban, Jawa Timur. Ali Yafie bereaksi keras terhadap bantuan ini. Beberapa tahun setelah kejadian, saya mendapat cerita tangan pertama mengenai pemberian bantuan ini dari anak Junaidi yang menjadi teman seangkatan saya di Pesantren Krapyak, Yogyakarta.
Ali Yafie tidak mau menoleransi hubungan dengan institusi yang kegiatannya berisi perjudian. Sementara Gus Dur terkesan tidak terlalu memperhatikan kasus bantuan ini. Sikap Ali Yafie yang sangat keras memang agak janggal karena disertai semacam “adu kekuatan”.
Seperti yang diutarakan K.H. Ilyas Ruhiat, PBNU telah mengambil sikap tegas dengan meminta Sekjen PBNU Ghafar Rachman mundur, memberi peringatan kepada Gus Dur, meminta maaf, dan mengembalikan uang sumbangan dari SDSB. “Tetapi hasil rapat PBNU rupanya tidak mengubah keputusan Kiai Ali Yafie untuk mundur kalau Abdurrahman Wahid tidak dibebastugaskan,” tulis Ilyas dalam esai berjudul "Setelah Kasus SDSB Itu" yang dimuat di buku 70 Tahun KH. Ali Yafie (1996).
Setelah keributan itu Ali Yafie tetap takzim kepada NU. Ia masih bersedia memunculkan nama-nama calon Rais 'Aam dan saat Ilyas Ruhiat terpilih menggantikan dirinya Ali Yafie mengapresiasinya dengan baik. Seperti ditulis Ayunk Notonegoro di Alif.id, Ali Yafie juga mengatakan di depan publik bahwa NU tidak pecah, melainkan ada perbedaan yang tidak bisa dijembatani. Dua tahun kemudian, ia hadir dalam acara pembukaan Muktamar NU 1994 di Cipasung, Tasikmalaya.
Atas pengunduran diri Ali Yafie, Gus Dur memilih tidak banyak berkomentar di media. Dalam beberapa kesempatan Gus Dur justru menyalahkan media yang sengaja ngompor-ngompori hubungan dirinya dengan sang senior. Bahkan di arena Munas, seperti dilaporkan Tempo (1 Februari 1992), Gus Dur berterima kasih kepada Kiai Ali yafie karena telah mengabdi untuk NU dengan ikhlas. Gus Dur yang sudah mengenal Ali Yafie sejak 1970-an menyatakan keprihatinannya atas perselisihan tersebut. “Dalam hati saya menjerit pada Allah, kenapa ini terjadi. Tapi roda organisasi harus jalan terus,” kata Gus Dur seperti dikutip Tempo.
Dalam buku 70 Tahun KH. Ali Yafie, banyak tokoh NU yang menyesalkan pengunduran diri Ali Yafie. K.H. Ilyas Ruhiat, K.H. Abdul Muchith Muzadi, K.H. Chalid Mawardi, K.H. Yusuf Muhammad, hingga K.H. Hasyim Muzadi menulis dengan nada penyesalan mengapa Ali Yafie tidak melanjutkan kiprah di NU. “Beliau Masih Sangat Dibutuhkan NU,” demikian judul artikel K.H. Wahid Zaini dalam buku itu. Bahkan, Nurcholish Madjid, dalam buku tersebut, di paragraf pertama mengingat orang yang pertama kali mengenalkan dirinya dengan Ali Yafie adalah Gus Dur.
“Pertama kali saya mendengar tentang tokoh Kiai Ali Yafie dari Gus Dur. Pada saat itu, awal 70-an, saya rasakan adanya hubungan yang sangat khusus antara Gus Dur dengan Kiai Ali Yafie. Paling tidak, hubungan itu berupa sikap kagum dan penghargaan yang tulus dari Gus Dur, seorang tokoh muda yang namanya mulai meroket, kepada kemampuan ilmiah keagamaan kiai dari Sulawesi Selatan itu,” begitu Cak Nur menulis.
Kesaksikan Cak Nur atas perhatian Gus Dur pada Kiai Ali Yafie juga dibenarkan oleh Mustofa Bisri. “Yang ‘menjelaskan’ sosok Kiai Ali Yafie di banyak kesempatan, ya, Gus Dur. Salah satu pekerjaan Gus Dur memang begitu, mengenalkan tokoh-tokoh hebat seperti Allahu yarham Kiai Sahal [Mahfudh], bahkan banyak tokoh lain,” ungkap Gus Mus kepada saya.
Sikap tanpa kompromi Ali Yafie barangkali dipengaruhi oleh sikap Gus Dur yang sangat keras terhadap MUI dan ICMI. Jadi tidaklah berlebihan jika ada persepsi bahwa Ali Yafie berbeda dengan Gus Dur karena dua institusi tersebut.
Ketiga, Ali Yafie adalah satu-satunya ulama dari luar Jawa yang pernah menduduki maqam paling puncak di NU, yakni sebagai rais 'aam. Posisi ini melebihi yang pernah diraih dua tokoh NU luar Jawa lainnya, Idham Chalid (1921-2010) dari Kalimantan Selatan dan Zainul Arifin Pohan (1909-1962) dari Sumatra Utara—keduanya Pahlawan Nasional. Meskipun kedudukan Ali Yafie hanya menggantikan Achmad Shiddiq (1926-1990), saya meyakini kedudukan ini sulit dicapai ulama luar Jawa sesudahnya. Bahkan belum tentu akan terjadi hingga 50 tahun ke depan. Ini saya yakin betul karena “politik Jawa” di NU makin menguat, di samping sangat susah mencari ulama seperti Ali Yafie.
“Luar biasa, ‘kiai Jawa’ menghormati ulama ‘luar Jawa’,” begitu banyak orang berkomentar atas terpilihnya Ali Yafie sebagai Wakil Rais 'Aam, mendampingi Achmad Shiddiq yang terpilih untuk kedua kalinya sebagai Rais 'Aam pada Muktamar NU 1989 di Pesantren Krapyak, Yogyakarta.
Di deretan kursi syuriah, memang Ali Yafie paling senior dibanding yang lain, misalnya Ilyas Ruhiat (1934-2007) atau Sahal Mahfudh (1937-2014). Namun tak cuma perkara umur, Ali Yafie bersanding dengan Achmad Shiddiq karena kualitas keilmuan dan kiprahnya di NU yang berlangsung sangat lama.
BERSAMBUNG (Lihat: KH. Ali Yafie; Dari DDI Ke NU)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar