KH Ali Yafie, Mantan Rais Aam NU yang Berani Minta Soeharto Mundur (02) :
Penulis: Hamzah Sahal (pengurus Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) PBNU dan Direktur Alif.ID.)
Muhammad al-Yafie memiliki ayah bernama Syekh Abdul Hafidz, ibunya bernama Fatimah. Dalam beberapa literatur diinformasikan bahwa Abdul Hafidz adalah satu dari tiga orang Nusantara yang menjadi guru besar di Makkah. Dua ulama lainnya adalah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (dari Bukittinggi) dan Syekh Nawawi al-Bantani (Banten). Keterangan ini bisa kita temukan, misalnya, di Ensiklopedi Islam Indonesia (2002, edisi revisi) dalam entri 'Ali Yafie'. Ensiklopedia itu memasukkan Ahmad Khatib dan Nawawi, namun entri Abdul Hafidz tidak ada.
Sebelum aktif di NU, Ali Yafie muda adalah aktivis Darul Dakwah wal Irsyad (DDI). Keaktifannya di DDI sejak masih sangat belia adalah fondasinya untuk berkiprah secara lebih luas di tingkat nasional. Lebih-lebih, Ali Yafie sukses mengembangkan organisasi yang berfokus pada pendidikan ini. Saat K.H. Abdurrahman Abodalle memimpin DDI, Ali Yafie menjadi sekjennya. Pasangan pemimpin ini meraih era emas pertama DDI.
Keaktifannya di NU bukanlah “menyeberang” dari DDI. Kedua organisasi sebenarnya satu haluan, yaitu organisasi keagamaan berbasis pesantren tradisional yang bermazhab Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Dalam Ensiklopedia NU, DDI sama seperti Mathalul Anwar di Banten, Al-Washliyah di Sumatra Utara, Perti di Sumatra Barat, atau Nahdlatul Wathan di Lombok. Organisasi-organisasi ini dinamakan “rumpun Aswaja”, yaitu sama-sama golongan Islam bermazhab Aswaja dan menerima tradisi tasawuf atau tarekat.
Kiprah Ali Yafie di NU adalah kisah panjang dan berliku. Ia mulai aktif saat NU berbentuk partai dari tahun 1953 di Pare-Pare hingga 1971 saat ia hijrah di Jakarta, dari mulai NU kembali ke khittah pada 1984 hingga pengunduran dirinya dari Rais 'Aam di tanggal 21 Januari 1992. Namanya juga tercatat di Pesantren Situbondo sebagai salah satu ulama yang aktif menginisiasi pendirian Ma’had Aly, pendidikan tinggi ala pesantren yang sekarang terus berkembang. Prestasinya di NU kemudian membawa Ali Yafie ke organisasi-organisasi di luar habitat tradisionalnya seperti di ICMI, MUI, Bank Muamalat (sebagai salah satu pendiri), hingga Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an Jakarta (sebagai rektor).
Jika ada persepsi bahwa Ali Yafie lebih dekat dengan kalangan “Islam kota” atau, katakanlah, golongan “Islam modernis” yang memiliki akses kepada kekuasaan Orde Baru, tidaklah berlebihan. Posisi Ali Yafie di beberapa institusi di luar NU menunjukkan itu. Misalnya di MUI, ia pernah menduduki posisi puncak. Di Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pun demikian; meskipun tidak di pucuk pimpinan, kedudukan Ali Yafie sangat strategis. Kiprah Ali Yafie di dua organisasi itu telah didokumentasikan panjang-lebar dalam buku Wacana Baru Fiqih Sosial: 70 Tahun K.H. Ali Yafie (Jamal D. Rahman dan kawan-kawan, 1997) dan KH. Ali Yafe: Jati Diri Tempaan Fiqih (2001).
Nama Ali Yafie juga tampak mencolok dalam struktur redaksi jurnal Ulumul Qur’an yang digawangi aktivis-intelektual M. Dawam Rahardjo. Hanya Ali Yafie yang namanya ada “kiai-nya”. Selain dia, nama-nama yang berbaris di sana adalah aktivis dan intelektual “Islam kota” yang bergelar doktor dan master seperti Quraish Shihab, Marwah Daud Ibrahim, Abdul Hadi W.M., Komaruddin Hidayat, Ahmad Syafi'i Maarif, dan sebagainya.
Bergantian dengan dewan redaksi lainnya, Ali Yafie menulis di rubrik "Iftitah". Ia, misalnya, menulis esai berjudul "Alquran Memperkenalkan diri" (1989) dan "Masyarakat Ummi" (1997). Ali Yafie juga pernah mengulas secara mendalam tentang asuransi dalam artikel bertajuk "Asuransi dalam Perspektif Islam" (1996). Analisisnya khas ulama fikih: bersandar pada literatur Islam klasik, mengungkapkan perbedaan-perbedaan, dan cenderung hati-hati. Ketika jurnal ini sempat memicu kontroversi karena penamaannya, yaitu Ulumul Qur’an, Ali Yafie dan Qurasih Shihab menjadi rujukan untuk berkonsultasi. Jurnal Ulumul Qur’an dibentuk pada 1989. Ini artinya Ali Yafie sudah dilirik kalangan "Islam kota" sebelum posisinya kokoh di MUI atau ICMI.
Namun demikian, Ali Yafie tetaplah ulama yang independen dan pendapat-pendapatnya dinilai jernih. Ketika gelombang demonstrasi merebak akibat jajak pendapat yang dilansir tabloid Monitor, Ali Yafie lantang menyerukan tidak boleh ada kekerasan. “Jangan menggunakan kekerasan. Kalau kita terpancing, bisa dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab,” tutur Ali Yafie, yang waktu itu Wakil Rais 'Aam PBNU dan Ketua MUI, seperti dikutip Editor (November 1990).
Meminta Soeharto Mundur
Saat Presiden Soeharto di ambang kejatuhan karena tuntutan rakyat dan mahasiswa, ia mendatangkan para tokoh agama. Pada 19 Mei 1998 sepuluh tokoh Islam diminta pendapatnya oleh Soeharto di Istana. Mereka adalah Gus Dur, Ahmad Bagdja, Ma'ruf Amin, Malik Fadjar, Sumarson, Emha Ainun Nadjib, Nurcholish Madjid, Cholil Baidowi, Yusril Ihza Mahendra, dan Ali Yafie. Dalam foto-foto yang beredar di media, saat Soeharto berbicara, Ali Yafie, yang mengenakan setelan baju sari berwarna abu-abu, tampak berdiri di tengah. Di samping kirinya ada Ma’ruf Amin dan Gus Dur. Di samping kanannya ada Malik Fadjar dan Emha Ainun Nadjib.
Menurut penuturan Helmi Aly, bapaknya datang ke istana dengan dijemput langsung oleh Probosutedjo, adik tiri Soeharto. Dua hari sebelum ada undangan resmi, Ali Yafie secara informal sudah diberi tahu oleh Helmi melalui telepon. Helmy sendiri mengaku mendapat informasi dari Masykur Maskub, yang waktu itu Direktur Lakpesdam NU. Hampir bisa dipastikan, informasi ini bersumber dari PBNU. Dalam perbincangan lewat telepon, selain memberi informasi, Helmy juga menanyakan kira-kira apa yang akan disampaikan bapaknya di depan Soeharto.
Helmi Aly: "Nanti mau ngomong apa kalau ketemu Soeharto?"
Ali Yafie: "Ya, nanti kita lihat situasinya."
Helmi Aly: "Mungkinkah diminta turun saja?"
Mendengar usulan itu, Ali Yafie tertawa kecil sambil berkata, "Ya, nanti kita lihat."
Besoknya, pemberitaan di televisi ramai melaporkan kedatangan tokoh-tokoh agama tersebut. Nurcholish Madjid sebagai juru bicara menyampaikan telah bertemu Soeharto dan menyampaikan perkembangan situasi genting secara, meminjam istilah Nurcholish, "detik per detik."
“Bahkan Kiai Ali Yafie, ulama dari Sulawesi Selatan, meminta agar Pak Harto turun,” kata Nurcholish seperti diceritakan Helmi Aly kepada saya.
Riwayat di atas senada dengan kesaksikan Malik Fadjar yang juga mengatakan Ali Yafie lah satu-satunya tokoh yang mengemukakan dengan lugas bahwa demonstrasi mahasiswa 1998 menginginkan Soeharto lengser. “Menurut Malik, para tamu yang lain diam, kecuali Ali Yafie yang mengatakan bahwa gerakan mahasiswa saat itu sebenarnya meminta Soeharto untuk turun,” tulis CNN dalam artikel "Cerita Malik Fadjar Saat Soeharto Merapuh di Ujung Orde Baru".
Menurut Helmi Aly, pernyataan Ali Yafie itu adalah jawaban dari pertanyaan Soeharto: “Bagaimana pandangan Kiai tentang persoalan ini?”
“Bapak Presiden, reformasi itu mempunyai dua makna. Pertama, seperti yang kita bicarakan di sini [perubahan sistem]. Yang kedua, reformasi itu artinya 'bapak turun', seperti yang dimaksudkan para mahasiswa di luar sana," jawab Ali Yafie.
Sejenak ruangan senyap. Kemudian Soeharto berkata, ”Iya, Kiai, saya paham.” Setelah diam sejenak, Soeharto melanjutkan, “Tetapi saya tidak mau ini inkonstitusional.” Tak lama Ali Yafie meminta pembahasan dilakukan saat itu juga. Soeharto pun setuju. Selepas itu Panglima ABRI Jenderal Wiranto diminta bergabung dalam pertemuan.
Bisa dipahami ketika yang berani bicara terus terang adalah Ali Yafie. Latar belakang sebagai orang Makassar yang lazim berbicara blak-blakan pasti memengaruhinya. Umur Ali Yafie yang waktu itu sudah 72 tidak memengaruhi sifat bicaranya yang apa adanya, sama seperti ketika ia berseberangan dengan Gus Dur di NU. Meskipun hanya beberapa patah kata, betapa penting dan bersejarah seorang ulama menyatakan Soeharto sebaiknya mundur langsung di depan mukanya. Dua hari kemudian Soeharto benar-benar lengser.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar