My Buku Kuning Center : GURUTTA AMBO DALLE SANGAT LAYAK DIBERIKAN GELAR SEBAGAI PAHLAWAN NASIONAL:

DROP MENU

Selasa, Maret 24, 2020

GURUTTA AMBO DALLE SANGAT LAYAK DIBERIKAN GELAR SEBAGAI PAHLAWAN NASIONAL:


*Seminar Nasional Pengusulan Penganugerahan Gelar
Pahlawan Nasional kepada CPN AG.KH. Abd Rahman Ambo Dalle
*Catatan Pandangan/Pendapat Orang dan Tokoh Masyarakat
Tentang Kepahlawanan Anregurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle (12)

Anregurutta K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle Adalah Sosok Pahlawan
Oleh: Ahmad Rasyid A. Said


Menurut Wekipedia, kata pahlawan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu phala-wan yang berarti orang yang dari dirinya menghasilkan buah (phala) yang berkualitas bagi bangsa, negara, dan agama, adalah orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani.


Bila merujuk pada pengertian di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle adalah sosok yang sangat tepat menyandang sebagai pahlawan.  AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle telah menghasilkan phala yang berkualitas bagi bangsa, negara, dan agama. Phala tersebut adalah organisasi Daruf Da’wah wal-Irsyad (DDI) bersama ratusan lembaga pendidikan yang bernaung di bawahnya, masih eksis dan menebar kebaikan hingga saat ini, melahirkan puluhan ribu alumni yang menyebar diberbagai penjuru, bahkan sampai ke luar negeri. Dalam mendirikan, membangun, dan mengembangkan Darud Da’wah wal-Irsyad hingga bisa menghasilkan buah yang berkualitas, AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle totalitas mencurahkan segenap apa yang dimilikinya, bahkan memberikan pengorbanan yang tidak sedikit, serta melewati berbagai tantangan dan rintangan yang cukup berat.

Ia memulai kiprahnya di Sengkang sebagai asisten AGH. M. As’ad (Anregurutta Fung Aji Sade) dalam membina Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Sengkang (1930-1938). Lalu, pada tanggal 21 Desember 1938 ia bersama keluarga dan beberapa santri hijrah ke Mangkoso, untuk memenuhi keinginan Arung Soppeng Riaja beserta masyarakatnya yang Meminta kepada AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle untuk membuka lembaga pendidikan (angngajing) di Mangkoso, ibu kota Kerajaan Soppeng Riaja pada masa itu (sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Barru). Dengan cepat, madrasah itu berkembang pesat ditandai oleh ratusan santri yang bukan hanya berasal dari daerah sekitar Soppeng Riaja, tetapi juga berasal dari luar daerah, bahkan luar provensi.

Namun, rintangan mulai muncul ketika penjajah Jepang mengeluarkan aturan melarang masyarakat berkumpul di suatu tempat, termasuk melakukan kegiatan belajar. Pemerintah pendudukan Jepang tidak menghendaki ada kegiatan yang yang dianggap dapat membahayakan Posisi Pemerintah pendudukannya. Pemerintah pendudukan Jepang merasa curiga pada semua pihak. Ulama dan lembaga pendidikannnya pun berada di dalam pengawasan yang ketat. AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle pun bersiasat dengan memindahkan tempat belajar dari semula di masjid dan ruang kelas, ke rumah-rumah guru sesuai bidang studi yang dipelajari. Siasat itu berhasil mengelabui tantara Jepang sehingga proses belajar mengajar bisa berlangsung dengan baik. Selain itu, untuk menanamkan patriotism dan cinta tanah air kepada masyarakat, AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle mengubah lagu Indonesia Raya dalam versi bahasa Arab, namun liriknya mirip lagu mars Jepang. Demikianlah sehingga Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso yang dipimpinnya bisa melewati masa-masa itu.

Situasi semakin genting ketika pasukan pendudukan Jepang digantikan oleh pasukan KL (Koninklijke Leger) dan KNIL (Koninklijke Netherland Indische Leger) Belanda yang membonceng pada pasukan Sekutu. Ketika pasukan Sekutu mulai melancarkan serangan udara ke berbagai daerah di Sulawesi Selatan, AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle harus mencari cara agar Situasi itu tidak menghambat berlangsungnya proses belajar mengajar. Ia lalu memusatkan tempat belajar di masjid. Agar suasana belajar di dalam mesjid tidak tampak dari luar, AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle memerintahkan supaya semua kaca pintu dan jendela dicat warna hitam sehingga cahaya lampu di malam hari tidak terlihat dari luar. Meski demikian, ia tidak dapat menghindari Jatuhnya korban ketika dua orang santri MAI Mangkoso yang dikirim mengajar ke madrasah cabang di Baruga Majene, tertembak mati bersama rakyat akibat kekejaman pasukan CSST dan KNIL Belanda di bawah pimpinan Kapten Raymond Westerling yang melakukan pembantaian di Sulawesi Selatan pada tahun 1946-1947.

Namun, Situasi itu tidak menyurutkan tekad dan langkah AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle dalam mengemban misi pendidikan dan dakwah. Ia gelisah dan sangat prihatin melihat dampak kekacauan tersebut bagi masyarakat di Sulawesi Selatan yang tidak memiliki kesempatan mengenyam pendidikan sehingga semakin berkubang dalam kebodohan dan keterbelakangan. AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle ingin meningkatkan peran lembaga pendidikan yang dipimpinnya menjadi sebuah gerakan yang punya dampak yang lebih luas bagi masyarakat. Ia pun berinisiatif Mengumpulkan sejumlah ulama di Sulawesi Selatan dalam sebuah forum musyawarah. Pertemuan tersebut berlangsung di Watang Soppeng tanggal 5-7 Februari 1947. Untuk menghindari kecurigaan Pemerintahan NIT bentukan Belanda dan pasukan KNIL Belanda, pertemuan itu dikemas dalam bentuk milad akbat. Para ulama yang hadir pada forum tersebut sepakat untuk membentuk organisasi yang akan mewadahi kegiatan pendidikan dan dakwah yang telah dilaksanakan sejak tahun 1938 oleh AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle. Organisasi itu diberi nama Darud Da’wah wal-Irsyad (DDI) yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan. Kegiatan pendidikan dan dakwah yang dilaksanakan AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle dalam bentuk madrasah dan angngajing (pesantren) berubah dan ditingkatkan ke dalam wadah organisasi sehingga bisa bergerak dan spektrum yang lebih luas. Sejak itu, Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso dan seluruh cabang-cabangnya berubah menjadi Darud Da’wah wal-Irsyad (DDI).

Seiring dengan semakin menguatnya perlawanan terhadap Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle berperan aktif memberikan dukungan moral terhadap para pejuang gerilya di Sulawesi Selatan yang melakukan perlawanan bersenjata. Ketika anggota pemuda pejuang Sulawesi Selatan di bawah Pimpinan Mayor TRI Andi Mattalatta dan Manai Sophian hendak melakukan ekspedisi ke Jawa guna melaporkan situasi Sulawesi Selatan kepada Presiden Soekarno dan Panglima Besar Jenderal Soedirman di Jogjakarta, mereka menemuai AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle minta didoakan keselamatannya dalam memperjuangkan bangsa dan negara. Demikian pula saat para pejuang tersebut pulang dari Jawa dan hendak melakukan konferensi kelaskaran pada tahun 1947 atas mandat dari Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Konfrensi tersebut dilangsungkan di Dusun Paccekke, sebuah daerah pengunungan sebelah Timur Mangkoso. Letak Mangkoso merupakan pintu gerbang Menuju Paccekke sehingga memudahkan para pemuda pejuang itu menemui AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle untuk Meminta doa restu. Pantai Wiringtasi Mangkoso menjadi salah satu lokasi pendaratan pasukan ekspedisi TRIPS dari Pulau Jawa, diantaranya yang di Pimpin oleh Kapten Andi Sarifin dan Letnan Muhammad Daeng Patompo yang hendak mengikuti konfrensi para pejuang di Paccekke.

Konfrensi yang hadiri oleh Lasykar pejuang se-Sulawesi Selatan dan Tenggara melahirkan Devisi Tentara Republik Indonesia (TRI) Sulawesi Selatan dan Tenggara sebagai cikal bakal Kodam XIV Hasanuddin. Itulah sebabnya sejak terbentuknya Komando Daerah Militer Sulawesi Selatan dan Tenggara (KDM-SST atau Kodam XIV Hasanuddin) dengan panglima yang pertama dijabat oleh Letkol Inf. Andi Mattalatta, AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle memiliki kedekatan dengan setiap panglima karena dianggap sebagai sesepuh Kodam. Hal tersebut berlangsung hingga AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle wafatdan Panglima Kodam VII Wirabuana saat itu, Mayjend TNI Agum Gumelar turut memberikan sambutan pelepasan dalam upacara pemakaman AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle di Mangkoso. Kapuspen ABRI juga hadir saat itu mewakili Panglima ABRI yang berhalangan datang.

 Kondisi di Sulawesi Selatan yang belum stabil setelah Proklamasi Kemerdekaan, tidak menyurutkan niat AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle untuk mengembangkan organisasi yang dipimpinnya, Darud Da’wah wal-Irsyad (DDI). Tahun 1949 ia menerima tawaran dari Petta Calo, Kepala Swapraja Mallusettasi yang memintanya menjadi Qadhi Mallusettasi yang berkedudukan di Pare-Pare. Jabatan itu membuatnya harus bolak-balik Mangkoso – Pare Pare dengan mengendeai sepeda. Jabatannya sebagai Qadhi membuka peluang bagi AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle untuk memindahkan Kantor Pusat DDI dari Mangkoso ke Pare-Pare pada tahun 1950 serta merintis berdirinya Pondok Pesantren DDI Ujung Baru dan Ujung Lare Kota Pare-Pare. Cabang-cabang madrasah DDI kian bertambah di luar daerah dan luar provensi, seperti Sulawesi Tengah, Kalimantan, dan Sumatera. Tahun 1955 DDI Menyelenggarakan Konfrensi Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan yang dihadiri oleh Prof. Mahmud Yunus atas nama Menteri Agama RI.

Masa paling sulit dialami oleh AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle ketika ia terpaksa berada dalam wilayah kekuasaan Darul Islam di wilayah belantara Sulawesi Selatan dan Tenggara. Namun, ia tetap mampu menposisikan diri sebagai ulama yang menyebarkan nilai-nilai kebaikan di tengah masyarakat, di mana pun ia berada. Saat menjumpai kondisi masyarakat pedalaman yang masih terkebelakang, baik dalam hal pendidikan maupun dalam pemahaman dan pengamalan agama, AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle segera tampil menjadi pendidik dan pengajar di tengah-tengah mereka. Selama 8 tahun ia nail turun gunung, keluar masuk pedalaman belantara Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara memerangi kebodohan dan keterkebelakangan masyarakat. Kondisi yang serba darurat dengan tempat belajar seadanya tidak menyurutkan langkahnya dalam mencerahkan masyarakat sampai ia kembali di tengah-tengah warga Darud Da’wah wal-Irsyad pada tahun 1963.

Namun, kali ini ia harus berhadapan lagi dengan gerakan PKI yang pengaruhnya mulai merembes masuk ke Sulawesi Selatan. AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle segera mengkonsolidasikan kekuatan bersama ulama lain di Sulawesi Selatan dalam menentang gerakan PKI. Bahkan, sikap AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle yang anti komunis dipertegas menjadi keputusan organisasi melalui keputusan Muktamar DDI Ke-10 tahun 1965 yang mendesak Pemerintah segera membubarkan PKI.

Ketika kondisi negara kian stabil dan mencanangkan gerakan pembangunan di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle mengambil peran sebagai mitra Pemerintah dalam mengisi pembangunan. Ia mempunyai pandangan yang prinsip tentang hubungan umara dan ulama. Keduanya merupakan dwitunggal yang sangat diperlukan dalam tatanan berbangsa dan bernegara. Bila keduanya bekerja sama dengan baik dan saling menguatkan, akan membawa keselamatan dan kesentosaan umat. Karena itu, ia turut mempelopori terbentuknya Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai wadah kemitraan ulama dan umara dalam membangun umat. AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle dikenal sebagai ulama yang memiliki kedekatan secara personal dengan sejumlah pejabat tinggi negara. Meski demikian, ia tidak pernah memanfaatkan kedekatannya itu untuk kepentingan pribadi atau mengorbankan kharismanya sebagai ulama yang dihormati demi tujuan pragmatis. Semua yang dilakukannya demi kepentingan umat melalui organisasi yang didirikan dan dipimpinnya, Darud Da’wah wal-Irsyad. Tahun 1979 AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle kian melebarkan sayap pesantren yang dipimpinnya dengan mendirikan Pondok Pesantren di Kaballangan, Kabupaten Pinrang, pesantren yang langsung dipimpinnya hingga wafat tahun 1996.

Kehadiran sejumlah pejabat pusat dan daerah yang berbaur di antara ribuan orang yang menghadiri prosesi pemakaman AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle pada tanggal 29 November 1996 menunjukkan betapa besarnya kecintaan mereka pada sosok ulama kharismatik ini. Kapuspen ABRI dan semua petinggi Sulawesi Selatan, mulai dari Gubernur, Ketua DPRD, Pangdam, Kapolda, serta tercatat 11 Bupati disamping puluhan tokoh penting lainnya, turut mengantarkan AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle ke peristirahatan terakhirnya. Dari Jakarta Wakil Presiden, Panglima ABRI, Mendikbud, dan Kepala Staf Angkatan Darat mengirimkan karangan bunga sebagai tanda duka cita. Semua itu rasanya sudah lebih dari cukup untuk menyimpulkan bahwa AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle memang layak mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional.





1 komentar:

Nina Aisna mengatakan...

Thanks ka, materinya sangat bermanfaat sekali buat aku. Aku suka banget ^^ Silakan cek Situs Togel Online Terbesar di Asia

歓迎 | Bienvenue | 환영 | Welcome | أهلا وسهلا | добро пожаловать | Bonvenon | 歡迎

{} Thanks For Visiting {}
{} شكرا للزيارة {}
{} Trims Tamu Budiman {}


MyBukuKuning Global Group


KLIK GAMBAR!
Super-Bee
Pop up my Cbox
Optimize for higher ranking FREE – DIY Meta Tags! Brought to you by ineedhits!
Website Traffic